Kasus
dari Artikel Pertama
(Hak
Cipta Si Unyil)
Liputan6.com,
Jakarta Drs Suryadi
atau Pak Raden sudah bisa bernafas dengan lega karena hasil karyanya boneka Si
Unyil dan teman-temannya mendapatkan perlindungan hak cipta dari Perusahaan
Film Negara (PFN). Ada hal yang menarik dari tercapainya pembaharuan perjanjian
baru tersebut yaitu munculnya ciptaan 'karakter' sebagai obyek perjanjian.
Kuasa hukum
Pak Raden, Dwiyanto Prihartono, S.H, M.H., mengatakan bahwa hal penting yang
terkait adalah perjanjian tersebut telah mengintroduksi istilah
"karakter" yang merupakan suatu ciptaan yang seharusnya ditegaskan
dilindungi oleh Undang-Undang tetapi belum dicantumkan dalam UU No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta.
Dalam
perjanjian lisensi yang ditandatangani oleh Pak Raden dan PFN, dicantumkan
bahwa PFN diberi hak untuk menggunakan atau memanfaatkan secara ekonomi atas
ciptaan karakter Si Unyil.
Seperti
diberitakan sebelumnya, setelah 2 (dua) tahun perseteruan antara Pak Raden
dengan PFN, akhirnya pada 15 April 2014 terjalin kerjasama yang lebih baik
antara Pak Raden (Drs Suyadi) dengan Perum Produksi Film negara (PFN) atas
dasar kesadaran kedua belah pihak yang ingin kembali menghadirkan karakter “Si
Unyil” pada kehidupan anak-anak Indonesia saat ini dan di masa mendatang.
"Kebutuhan
akan perlindungan hak cipta independen bagi karakter fiksi di Indonesia telah
semakin mendesak. Kasus hak cipta Si Unyil adalah salah satu contoh konkrit di
mana suatu karakter bisa memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi
penciptanya, dan oleh karenanya harus dapat dilindungi secara independen
sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi dalam rumusan pasal pada UU Hak
Cipta yang baru," terang Risa Amrikasari, S.S., M.H., yang juga Konsultan
Hak Kekayaan Intelektual Pak Raden.
Dalam konferensi
pers babak baru kerjasama Pak Raden dengan PFN (17/04/2014), diungkapkan juga
oleh Risa, bahwa dirinya telah mengirimkan surat resmi kepada Pansus RUU Hak
Cipta di DPR yang berisi usulan perlindungan hak cipta independen bagi karakter
seperti si Unyil untuk dimasukkan sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi
dalam UU Hak Cipta.
"Penambahan
"karakter fiksi" sebagai jenis ciptaan yang dilindungi secara
independen pada Undang-undang Hak Cipta yang baru akan menjadikan Undang-undang
Hak Cipta Indonesia di masa mendatang lebih mempunyai perspektif yang
internasional yang bisa melindungi ciptaan karakter anak bangsa. Bagi
kepentingan industri kreatif dalam dan luar negeri, diharapkan akan menjadi
lebih bergairah apabila Undang-undang Hak Cipta kita merupakan Undang-undang
yang progresif, antisipatif, dan memadai," pungkas Risa.
(Sumber : https://www.liputan6.com/showbiz/read/2038940/kasus-boneka-si-unyil-diharapkan-lahirkan-hak-cipta-independen)
Analisis
Artikel diatas adalah
salah satu titik temu mengenai kasus hak cipta karakter fiksi “Si Unyil”. Kasus
ini bermula pada Desember 1995, Drs Suryadi atau Pak Raden sang
kreator karakter si unyil menandatangani perjanjian dengan PFN.
Isinya, menyerahkan kepada PFN untuk mengurus hak cipta atas boneka Unyil.
Pada 23 Desember 1998,
Pak Raden menandatangani surat penyerahan hak cipta atas 11 lukisan boneka,
termasuk si Unyil, Pak Raden, Pak Ogah, dan lain-lain. Perjanjian itu berlaku
selama lima tahun sejak ditandatangani. Perjanjian ini dilakukan
untuk menghindari pemanfaatan karakter si unyil untuk kepentingan ekonomi
secara ilegal serta untuk melindungi hak royalti penciptanya. Namun, selama
masa berlaku perjanjian tersebut, Pak Raden tidak pernah menerima royalti atas
hak ciptanya.
Secara hukum, PFN juga
memiliki hak atas hak cipta tersebut. Hal ini didasarkan oleh fakta bahwa pada
15 Januari 1999, PFN mendapat surat penerimaan permohonan pendaftaran hak cipta
dari Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman atas 11
tokoh itu. Selain itu, sebelum tahun 1999, Pak Raden tidak pernah mendatarkan
hak ciptanya sehingga hak royalti yang seharusnya diterima Pak Raden hanya
berdasarkan perjanjian dengan pihak PFN.
Jika dilihat dari sisi
hukum perundang-undangan, terdapat peraturan hukum yang telah mengatur mengenai
Hak cipta yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989.
Peraturan ini membahas tentang Penterjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk
Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ditetapkan
Tanggal 14 Januari 1989.
Namun, kelemahan dari Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 adalah hanya mengatur
penggunaan hak cipta tanpa memperjelas apa saja yang termasuk dalam hak cipta.
Sehingga dalam kasus Pak Raden, terdapat kurangnya kejelasan mengenai posisi
hasil cipta pak raden karena dikategorikan dalam hak cipta paten, bukan hak
cipta independen.
Selain itu, berdasarkan UU No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa Pemegang Hak Cipta adalah
Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari
Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut. Dalam kasus hak cipta si unyil, Pak Raden selaku pelaku
pertunjukan yang menciptakan tokoh si unyi, memiliki kurang kejelasan posisi
dalam hukum sebab tidak termasuk dalam pencipta yang dijelaskan dalam UU
tersebut sehingga tidak memiliki hak cipta dari hasil ciptaannya.
Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru
yaitu UU
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Pak Raden pun memiliki kejelasan posisi
dalam hukum. Salah satu poin dalam UU tersebut membahas mengenai Hak Terkait
adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi
pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.
Kasus
dari Artikel Kedua
(Hak
Cipta Penggunaan Software AutoCad)
JAKARTA,
SELASA - Aparat dari Markas Besar kepolisian Republik Indonesia menindak dua
perusahaan di Jakarta yang menggunakan software AutoCad bajakan. Masing-masing
PT MI, perusahaan konstruksi dan teknik di bilangin Permata Hijau dan PT KDK
perusahaan konsultan arsitektur yang beralamat di bilangan pasar Minggu.
Penindakan
di PT MI dilakukan pada Tanggal 23 Februari 2009. Sementara, PT KDK telah
ditangani sejak tanggal 16 Februari 2009. Saat ini penyidik masih memeriksa
pimpinan masing-masing perusahaan.
Keduanya
akan dijerat dengan UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pasal 72 ayat 3.
"Mereka diancam denda sebesar maksimal Rp 500 juta dan hukuman kurungan
selama lima tahun," terang Penyidik Mabes Polri AKBP Rusharyanto, dalam
jumpa pers di Jakarta, Selasa (24/2).
Selain kedua
perusahaan, polisi juga telah melakukan tindakan terhadap para pengguna
software bajakan sejenis. Pengguna yang ditangkap umumnya di dalam lingkungan
perusahaan dan untuk kepentingan komersial.
"Sejauh
ini delapan perusahaan pengguna software jenis AutoCad bajakan yang sudah kami
tindak," terang Rusharyanto. Ia mengatakan, upaya pemberantasan software
bajakan akan terus berlanjut tidak hanya AutoCad namun juga jenis software yang
dilindungi hak cipta.
(Sumber : https://tekno.kompas.com/read/2009/02/24/18592297/gunakan.autocad.bajakan.2.perusahaan.dijerat.rp.500.juta)
(Sumber : https://tekno.kompas.com/read/2009/02/24/18592297/gunakan.autocad.bajakan.2.perusahaan.dijerat.rp.500.juta)
Analisis
Artikel
diatas adalah salah satu contoh kasus pelanggaran penggunaan hak cipta. Pngertian
dan penggunaan hak cipta diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014. Menurut UU Nomor
28 Tahun 2014, Hak cipta adalah Hak Cipta adalah hak eksklusif
pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu poin yang dibahas
dalam UU tersebut yaitu mengenai royalti. Royalti adalah imbalan atas
pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima
oleh pencipta atau pemilik hak terkait.
Dalam kasus penggunaan software AutoCad yang tidak berlisensi
tersebut, PT MI dan PT KDK telah melanggar UU hak cipta.UU hak cipta tersebut
telah dilanggar sebab dengan menggunakan software
AutoCad tersebut untuk kepentingan ekonomi, maka PT MI dan PT KDK telah
merugikan pemilik hak cipta/lisensi. Pemilik hak cipta mengalami kerugian sebab
pemilik hak cipta tidak mendapatkan royalti atas penggunaan hasil ciptaan yang
menjadi haknya serta dimata hukum hal tersebut adalah ilegal.
Berdasarkan UU Nomor
28 Tahun 2014, tercantum pula sanksi bagi yang melakukan pelanggaran hak cipta.
Pada pasal 116 UU Nomor 28 Tahun 2014 tercantum bahwa
bagi Setiap Orang
yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (21 huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selain itu, kasus ini terjadi juga
akibat/efek dari pembajakan hak cipta. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2014, Pembajakan
adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan
pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh
keuntungan ekonomi.
Berdasarkan UU Nomor
28 Tahun 2014, tercantum pula sanksi bagi yang melakukan pembajakan hak cipta. Pada
pasal 117 UU
Nomor
28 Tahun 2014, tercantum bahwa bagi Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud pada ayat (21 yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana
penjara paling Iama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Menurut pendapat saya, penindakan
terhadap okunum maupun perusahaan yang melanggar hak cipta merupakan salah satu
upaya yang tepat. Namun, akan lebih efektif apabila dilakukan pula pencegahan
terhadap pelanggaran hak cipta, misalnya dengan memperketat pengawasan
peredaran hasil hak cipta serta pemberantasan pembajakan hak cipta.
0 komentar:
Posting Komentar