Senin, 16 April 2018

Analisis Kasus Pelanggaran Hak Cipta


Kasus dari Artikel Pertama
(Hak Cipta Si Unyil)

Liputan6.com, Jakarta Drs Suryadi atau Pak Raden sudah bisa bernafas dengan lega karena hasil karyanya boneka Si Unyil dan teman-temannya mendapatkan perlindungan hak cipta dari Perusahaan Film Negara (PFN). Ada hal yang menarik dari tercapainya pembaharuan perjanjian baru tersebut yaitu munculnya ciptaan 'karakter' sebagai obyek perjanjian.

Kuasa hukum Pak Raden, Dwiyanto Prihartono, S.H, M.H., mengatakan bahwa hal penting yang terkait adalah perjanjian tersebut telah mengintroduksi istilah "karakter" yang merupakan suatu ciptaan yang seharusnya ditegaskan dilindungi oleh Undang-Undang tetapi belum dicantumkan dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dalam perjanjian lisensi yang ditandatangani oleh Pak Raden dan PFN, dicantumkan bahwa PFN diberi hak untuk menggunakan atau memanfaatkan secara ekonomi atas ciptaan karakter Si Unyil.
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah 2 (dua) tahun perseteruan antara Pak Raden dengan PFN, akhirnya pada 15 April 2014 terjalin kerjasama yang lebih baik antara Pak Raden (Drs Suyadi) dengan Perum Produksi Film negara (PFN) atas dasar kesadaran kedua belah pihak yang ingin kembali menghadirkan karakter “Si Unyil” pada kehidupan anak-anak Indonesia saat ini dan di masa mendatang.

"Kebutuhan akan perlindungan hak cipta independen bagi karakter fiksi di Indonesia telah semakin mendesak. Kasus hak cipta Si Unyil adalah salah satu contoh konkrit di mana suatu karakter bisa memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi penciptanya, dan oleh karenanya harus dapat dilindungi secara independen sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi dalam rumusan pasal pada UU Hak Cipta yang baru," terang Risa Amrikasari, S.S., M.H., yang juga Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Pak Raden.

Dalam konferensi pers babak baru kerjasama Pak Raden dengan PFN (17/04/2014), diungkapkan juga oleh Risa, bahwa dirinya telah mengirimkan surat resmi kepada Pansus RUU Hak Cipta di DPR yang berisi usulan perlindungan hak cipta independen bagi karakter seperti si Unyil untuk dimasukkan sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi dalam UU Hak Cipta.

"Penambahan "karakter fiksi" sebagai jenis ciptaan yang dilindungi secara independen pada Undang-undang Hak Cipta yang baru akan menjadikan Undang-undang Hak Cipta Indonesia di masa mendatang lebih mempunyai perspektif yang internasional yang bisa melindungi ciptaan karakter anak bangsa. Bagi kepentingan industri kreatif dalam dan luar negeri, diharapkan akan menjadi lebih bergairah apabila Undang-undang Hak Cipta kita merupakan Undang-undang yang progresif, antisipatif, dan memadai," pungkas Risa.

(Sumber : https://www.liputan6.com/showbiz/read/2038940/kasus-boneka-si-unyil-diharapkan-lahirkan-hak-cipta-independen)

Analisis

Artikel diatas adalah salah satu titik temu mengenai kasus hak cipta karakter fiksi “Si Unyil”. Kasus ini bermula pada Desember 1995, Drs Suryadi atau Pak Raden sang kreator karakter si unyil menandatangani perjanjian dengan PFN. Isinya, menyerahkan kepada PFN untuk mengurus hak cipta atas boneka Unyil.
Pada 23 Desember 1998, Pak Raden menandatangani surat penyerahan hak cipta atas 11 lukisan boneka, termasuk si Unyil, Pak Raden, Pak Ogah, dan lain-lain. Perjanjian itu berlaku selama lima tahun sejak ditandatangani. Perjanjian ini dilakukan untuk menghindari pemanfaatan karakter si unyil untuk kepentingan ekonomi secara ilegal serta untuk melindungi hak royalti penciptanya. Namun, selama masa berlaku perjanjian tersebut, Pak Raden tidak pernah menerima royalti atas hak ciptanya.
Secara hukum, PFN juga memiliki hak atas hak cipta tersebut. Hal ini didasarkan oleh fakta bahwa pada 15 Januari 1999, PFN mendapat surat penerimaan permohonan pendaftaran hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman atas 11 tokoh itu. Selain itu, sebelum tahun 1999, Pak Raden tidak pernah mendatarkan hak ciptanya sehingga hak royalti yang seharusnya diterima Pak Raden hanya berdasarkan perjanjian dengan pihak PFN.
Jika dilihat dari sisi hukum perundang-undangan, terdapat peraturan hukum yang telah mengatur mengenai Hak cipta yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989. Peraturan ini membahas tentang Penterjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ditetapkan Tanggal 14 Januari 1989.
Namun, kelemahan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 adalah hanya mengatur penggunaan hak cipta tanpa memperjelas apa saja yang termasuk dalam hak cipta. Sehingga dalam kasus Pak Raden, terdapat kurangnya kejelasan mengenai posisi hasil cipta pak raden karena dikategorikan dalam hak cipta paten, bukan hak cipta independen.
Selain itu, berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Dalam kasus hak cipta si unyil, Pak Raden selaku pelaku pertunjukan yang menciptakan tokoh si unyi, memiliki kurang kejelasan posisi dalam hukum sebab tidak termasuk dalam pencipta yang dijelaskan dalam UU tersebut sehingga tidak memiliki hak cipta dari hasil ciptaannya.
Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Pak Raden pun memiliki kejelasan posisi dalam hukum. Salah satu poin dalam UU tersebut membahas mengenai Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.




Kasus dari Artikel Kedua
(Hak Cipta Penggunaan Software AutoCad)

JAKARTA, SELASA - Aparat dari Markas Besar kepolisian Republik Indonesia menindak dua perusahaan di Jakarta yang menggunakan software AutoCad bajakan. Masing-masing PT MI, perusahaan konstruksi dan teknik di bilangin Permata Hijau dan PT KDK perusahaan konsultan arsitektur yang beralamat di bilangan pasar Minggu.

Penindakan di PT MI dilakukan pada Tanggal 23 Februari 2009. Sementara, PT KDK telah ditangani sejak tanggal 16 Februari 2009. Saat ini penyidik masih memeriksa pimpinan masing-masing perusahaan.

Keduanya akan dijerat dengan UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pasal 72 ayat 3. "Mereka diancam denda sebesar maksimal Rp 500 juta dan hukuman kurungan selama lima tahun," terang Penyidik Mabes Polri AKBP Rusharyanto, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (24/2).

Selain kedua perusahaan, polisi juga telah melakukan tindakan terhadap para pengguna software bajakan sejenis. Pengguna yang ditangkap umumnya di dalam lingkungan perusahaan dan untuk kepentingan komersial.

"Sejauh ini delapan perusahaan pengguna software jenis AutoCad bajakan yang sudah kami tindak," terang Rusharyanto. Ia mengatakan, upaya pemberantasan software bajakan akan terus berlanjut tidak hanya AutoCad namun juga jenis software yang dilindungi hak cipta.

(Sumber : https://tekno.kompas.com/read/2009/02/24/18592297/gunakan.autocad.bajakan.2.perusahaan.dijerat.rp.500.juta)

Analisis
            Artikel diatas adalah salah satu contoh kasus pelanggaran penggunaan hak cipta. Pngertian dan penggunaan hak cipta diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2014, Hak cipta adalah Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Salah satu poin yang dibahas dalam UU tersebut yaitu mengenai royalti. Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.
Dalam kasus penggunaan software AutoCad yang tidak berlisensi tersebut, PT MI dan PT KDK telah melanggar UU hak cipta.UU hak cipta tersebut telah dilanggar sebab dengan menggunakan software AutoCad tersebut untuk kepentingan ekonomi, maka PT MI dan PT KDK telah merugikan pemilik hak cipta/lisensi. Pemilik hak cipta mengalami kerugian sebab pemilik hak cipta tidak mendapatkan royalti atas penggunaan hasil ciptaan yang menjadi haknya serta dimata hukum hal tersebut adalah ilegal.
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014, tercantum pula sanksi bagi yang melakukan pelanggaran hak cipta. Pada pasal 116 UU Nomor 28 Tahun 2014 tercantum bahwa bagi Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selain itu, kasus ini terjadi juga akibat/efek dari pembajakan hak cipta. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2014, Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
            Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014, tercantum pula sanksi bagi yang melakukan pembajakan hak cipta. Pada pasal 117 UU Nomor 28 Tahun 2014, tercantum bahwa bagi Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (21 yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling Iama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
            Menurut pendapat saya, penindakan terhadap okunum maupun perusahaan yang melanggar hak cipta merupakan salah satu upaya yang tepat. Namun, akan lebih efektif apabila dilakukan pula pencegahan terhadap pelanggaran hak cipta, misalnya dengan memperketat pengawasan peredaran hasil hak cipta serta pemberantasan pembajakan hak cipta.
           


0 komentar:

Posting Komentar

 

I am still learning Template by Ipietoon Cute Blog Design